Strategi Membangun Personal Brand

Kalo gue suruh anak-anak gue mandi, mereka pasti bilang nanti dulu, dan masih lanjut main game.

Giliran bapaknya yang nyuruh mandi, langsung mereka nurut dan sigap mandi.

Pernah ngalamin seperti itu? Kok, bisa, ya? pesan yang sama, disampaikan dengan cara yang kurang lebih sama, tapi dampaknya bisa beda?

Nah, ini lah prinsip kerja personal brand.

Fenomena di atas, sebenarnya bisa dijelaskan dengan ilmu komunikasi.

Dalam ilmu komunikasi, ada faktor yang mempengaruhi dampak dari pesan.

Faktor artinya segala perubahan yang terjadi di faktor itu bisa berdampak ke hasilnya.

Faktor komunikasi adalah who (siapa), message (pesannya), channel (saluran distribusi pesan) to whom (audiens)

Jadi, kalo anak gue nggak nurut sama gue, sedangkan sama bapaknya nurut, ini artinya gue sebagai faktor who (yang menyampaikan pesan) untuk urusan nyuruh mandi, bisa dibilang kurang kuat.
Untuk memperkuat diri sebagai faktor who dalam urusan mandi, maka gue harus membangun reputasi dulu.

Dan memang betul, reputasi antara gue dan suami gue urusan mandi anak, berbeda. Gue lebih bisa dinego, sedangkan bapaknya nggak bisa. Makanya, anak gue sebagai audiens (orang-orang yang menerima pesan) memberikan respon yang berbeda.

Jadi membangun personal brand artinya fokus memperkuat diri kita sebagai faktor who dengan cara membangun reputasi atas suatu topik atau bidang tertentu

Personal Branding dan Personal brand
Kegiatan atau upaya membangun reputasi itu kita sebut personal branding, ada -ing berarti kata kerja. Setelah terbangun reputasinya, kita sebut personal brand.

Melihat Personal Branding Pada Masa Lalu
Sebelum era digital dan media sosial seperti sekarang, seseorang membangun personal brand dengan tahapan seperti ini :

Berkarya dan berkarir menjadi profesional 👉-berprestasi 👉- mulai dikenal secara mulut ke mulut 👉-masuk ke stasiun tv/radio (channel)

Seperti itu lah personal brand sebelum era digital. Makanya dulu kita mengenal dokter Boyke, yang membahas seputar sex. Kak Seto sebagai psikolog anak. Rudy Choirudin sebagai juru masak. Pak Bondan sebagai pengulas makanan.

Karena personal brand nya sudah kuat, mereka bisa membangun brand (selain personal brand) dan menjual produk dan layanan dari nama besar ini.

Brand yang mereka buat biasanya berhubungan dengan reputasi yang dibangun di dalam personal brand.

Melihat Personal Branding Era Sekarang
Di era sekarang, cara membentuk personal brand pun jadi berubah karena media komunikasinya berubah.

Kalau dulu seseorang harus berprofesi dulu, berprestasi dulu, baru kemudian semakin dikenal luas.

Sekarang, karena medianya ada di tangan kita (baca : media sosial) akhirnya caranya jadi terbalik.

Caranya, orang itu dikenal luas dulu, membangun reputasi dulu, baru kemudian dia bisa mulai membangun koneksi, mulai berprestasi dan peluang makin muncul.

Karena caranya terbalik, banyak orang yang ketuker antara personal brand dan content creator.

Untuk paham perbedaannya, lihat kembali ke faktor komunikasi.

Kalau dilihat dari karakteristiknya content creator yang fokus pada jumlah penonton, maka dia itu sebenarnya sedang fokus sebagai faktor channel.

Jadi, content creator fokus untuk bisa mendistribusikan pesan seluasnya melalui konten yang dia buat. Mirip seperti stasiun tv yang mikirin rating acara.

Personal brand fokus faktor who
Content creator fokus faktor channel

Karena kedua ini fokusnya berbeda, akhirnya monetisasinya atau pemasukannya jadi berbeda.

Sebagai channel, pemasukannya dari brand atau siapapun yang mau pasang iklan. Karena brand tau, yang nonton channel itu banyak, makanya brand membayar tinggi untuk pasang iklan.

Sedangkan personal brand, karena menguatkan sebagai faktor who, pemasukan datang dari produk dan layanan yang berhubungan dengan skill yang dia bangun reputasinya.

Channel umumnya nggak dirancang untuk menghasilkan uang dari menjual produknya sendiri. Misal SCTV jual kaos, atau buku. Siapa yang mau beli? Atau membeli merchandise dari acara tv nya?

Kecuali…

Ada kecualinya.

Kecuali channel itu membangun brand culture. Seperti MTv yang punya brand culture. Atau kalau sekarang, seperti Vindes.

Brand culture adalah budaya yang dibuat oleh brand tersebut, sehingga budaya itu punya pembeda dan mengatur orang-orang yang ada di dalamnya.
Bentuknya misalnya seperti komunitas, tapi brand culture bukan cuma komunitas.

Dari sini lah basis penggemar channel itu bisa muncul, makanya produk yang dijual pun bisa laris.

Kalau nggak bangun brand culture, maka dia sekedar channel distribusi pesan.

Itu kenapa, jangan heran kalau ada content creator yang kesusahan menjual produk tentang channelnya atau akunnya. Pas bagian menjual produk brand lain, malah lancar.

Ya, karena memang akun dia bukan dirancang untuk itu. Dan produk dari brand lain seperti beriklan di channelnya.
Lalu kalau ada orang yang mengatakan dirinya content creator tapi bisa menjual produk dan layanannya, ini karena dia membangun personal brand.

Jadi pahami dulu ya, perbedaannya.

Lanjut ke personal brand lagi.

Strategi membangun personal brand
Sebenernya, membangun personal brand itu nggak sulit, kalau kita sudah tau mau membangun reputasi atas apa.

Misalnya, lo sudah punya profesi sebagai perawat atau dokter. Ya, lo tinggal memikirkan aja, konten seperti apa yang bisa menguatkan reputasi dari identitas lo ini? Soalnya identitas lo akan terbentuk dari profesi ini. Atau kalau lo sudah punya hobi, ya, itu juga bisa. Tinggal lo bagikan seputar hobi lo untuk membangun reputasi sebagai ensthusiast.

Palingan, tinggal pelajari hal-hal teknis seperti membaca data audiens. Membuat pesan yang menarik. Trik menggunakan platform komunikasi yang lo gunakan. Editing, dan hal-hal teknis lainnya. Itu kalau emang itu semua lo lakukan sendiri.

Yang jadi masalah, saat lo nggak tau mau bangun reputasi atas apa, kemudian lo nanya gue :

Apa ya, Mbak Indah?

Mencari identitas untuk personal brand
Wajar aja sih, nanya. Misal nanya ke gue. Tapi berharap gue bisa dengan tepat menjawab, itu yang nggak wajar.

Gue hanya bisa memberikan arahan untuk lo mencari sendiri. Karena gue pun mencari sendiri.
Kadang memang butuh proses agak panjang.

Sebelum membangun personal brand seperti Indah Jiwandono ini, gue disarankan oleh seorang teman, untuk bangun personal brand soal copywriting. Karena menurut dia, tulisan gue cukup bagus. Dia suka baca tulisan gue. Apalagi gue memang jurusan komunikasi periklanan, jadi nyambung juga.

Gue berterimakasih dengan saran itu, tapi pencarian gue lanjutkan.

Dan begini cara gue...

Masa pencarian
Mulai ingat-ingat kembali dan perhatikan :

Apa yang bisa lo lakukan dengan mudah, sedangkan bagi orang umum itu sulit. Ini adalah bakat.

Dan apa yang sulit lo lakukan tapi lo nggak pernah berhenti belajar dan mendalami. Ini adalah passion.

Mengingat bakat
Ini penting.
Kenapa memperhatikan ini?
Karena biasanya kita menyepelekan bakat. Kita menyepelekan karena menurut kita, itu nggak ada susah-susahnya.
Padahal, bakat yang kita punya itu sebenarnya menyiratkan sesuatu lebih dalam lagi.

Bakat bukan berarti nggak bisa dipelajari orang lain, tapi bakat itu seperti settingan di dalam diri kita yang terlalu cocok sehingga kita nggak perlu usaha. Tuhan memberi dengan cuma-cuma.

Contohnya, dari kecil gue punya bakat menggambar. Ini membuat gue dikenal di sekolah. Dari SD, SMP, SMA, penanda gue adalah Indah, yang jago gambar. Awalnya gue suka dengan bakat ini. Tapi semakin besar, gue makin nggak berminat, entah kenapa.

Sampai akhirnya gue nggak pernah menggambar lagi.
Padahal ternyata, bakat itu menandakan hal yang lebih dalam lagi tentang diri gue.

Jadi, menggambar itu butuh memahami konsep abstrak dan menuangkan dalam bentuk konkrit. Nah, ternyata itu maksudnya.

Karena gue masuk jurusan kuliah periklanan, akhirnya bentuk konkretnya jadi iklan. Dan karena gue langsung membangun brand setelah kuliah, sekarang medianya jadi brand.

Mengingat passion
Nah, untuk hal yang sulit bagi lo tapi tetap lo lakukan, ini lah yang disebut passion.

Passion dari akar kata Latin passio yang artinya suffer atau penderitaan. Jadi passion adalah penderitaan yang dipilih.

Makanya pun sulit, lo tetap mau berusaha.
Ini bukan tentang bertahan dengan pasangan yang toxic, ya!

Ini tentang suatu minat berhubungan dengan kemampuan diri yang terus lo lakukan.

Kalo lo sudah menemukan passion, sebenarnya lo tinggal memperhatikan hal-hal lain yang berhubungan dengan passion itu. Karena sangat mungkin potensi untuk dikembangkan baru terlihat saat lo menghubungkan dengan hal lain.

Misalnya, lo senang sekali belajar tentang kepribadian manusia. Padahal, bagi lo itu susah. Tapi tiap hari lo selalu mencari tau terus.

Ini bisa membentuk keahlian yang bermanfaat dan bisa berpotensi kedepannya untuk dikembangkan kalau lo mulai memperhatikan hubungannya dengan hal-hal lain yang bisa lebih bermanfaat ke orang banyak. Contohnya, tentang bagaimana mencari pasangan melalui pemahaman terhadap kepribadian. Lalu lo jadi "dokter cinta". Lo pun dicari oleh orang-orang yang punya masalah percintaan.

Jadi kalau lo punya bakat dan passion, maka ini sinyal potensi lebih luas lagi. Pilih lah konteks untuk mengubah bakat dan passion ini menjadi lebih bermanfaat bagi orang lain dan menantang bagi diri lo. Dan konteks itu lah yang membuat lo bisa memonetisasi nantinya.

Gue yakin untuk manusia dewasa, semua punya bakat atau passion. Karena seharusnya manusia dewasa sudah mencoba berbagai hal jadi bisa terlihat bakat dan passion.

Masa Pembentukan Identitas
Setelah lo makin paham bagaimana bakat dan passion lo bisa ditempatkan dalam sebuah konteks, sebenarnya ini sudah mulai bisa dibentuk sebagai identitas personal brand.

Cara membuat identitas personal brand adalah dengan membuat suatu pernyataan singkat. Kalo di brand produk, biasa disebut positioning statement.

Tampilkan ini di tempat audiens lo mencari informasi singkat tentang diri lo. Misal, di bio instagram.

Mengapa pernyataan singkat ini penting?

Ini agar orang luar paham yang baru kenal lo paham, reputasi apa yang sedang lo bangun. Jadi levelnya mereka paham dulu.

Seperti lo memahami identitas personal brand gue sebagai orang yang mengajarkan seputar membangun brand. Lo tau ini, karena kan... gue tuliskan dengan jelas.

Kesalahan yang sering terjadi
Pernyataan atau positioning statement ini nantinya berhubungan dengan tahap selanjutnya, jadi sebaiknya perhatikan betul.

Isinya harus tentang reputasi yang sedang lo bangun.

Jadi informasi tentang lainnya, disingkirkan dulu.

Misal, gue nggak perlu jelaskan kalau gue ibu anak 3 atau istri dari suami gue, di bio.

Karena identitas gue sebagai ibu, nggak akan gue nampakkan dan nggak ada reputasi apapun yang mau gue bangun tentang itu di personal brand gue.
Gue bahkan nggak kasih tau, apa brand gue di bio. Karena gue nggak mau bangun reputasi di soal brand gue. Kecuali gue bangun akun ini untuk menggaet reseller, jika itu tujuan gue maka akan gue tampilin.
Kalo pun akhirnya orang tau gue punya brand, ya nggak apa.

Gue harus benar-benar memilih, soalnya dari pernyataan singkat itu, gue harus membangun reputasi pertama melalui kesuaian atau konformitas.

1. Konformitas
Jadi karena reputasi lo baru mau dibangun — tapi belum terbangun—maka orang yang baru melihat akan menilai terlebih dahulu kesesuaiannya. Kesesuaian antara pernyataan lo dan komunikasi yang lo berikan.

Misal, kalo gue tulis mengajarkan seputar membangun brand, yang akan orang perhatikan adalah kesesuaian konten dan pernyataan gue ini. Nilai kesesuaian ini harus cukup tinggi.

Semakin sesuai, maka di situ lah mulai timbul persepsi kalau kita memang fokus dan itu lah reputasi pertama yang kita bangun.

Jadi kalau gue tulis hal-hal lain, sedangkan itu nggak gue tampilkan di personal brang gue, maka ini akan mengurangi nilai konformitasnya. Di awal, konformitas ini yang paling harus lo perhatikan.

2. Kualitas
Setelah orang menilai ada kesesuaian atau konformitas di dalam personal brand yang lo miliki, maka kita mau meningkatkan reputasi kita lagi. Kita ingin orang lain bisa mempersepsikan kualitas.

Iya, kualitas adalah persepsi karena kualitas nggak bisa diukur secara pasti dan tergantung penilaian subjektif.

Untuk bisa dipersepsikan sebagai personal brand berkualitas, maka fokus kita berikutnya adalah kedalaman dan keluasan.

Kedalaman
Ini artinya lo menunjukkan kedalaman lo di reputasi yang sedang lo bangun. Jadi berikan hal yang nggak banyak orang tau tentang topik yang sedang lo bahas untuk menunjukkan kedalaman.

Dan untuk bisa ini, mau nggak mau lo memang harus banyak belajar dan memperdalam.

Jangan khawatir, karena nggak semua orang mendalami topik yang lo bangun. Jadi kadang hal-hal yang menurut lo biasa bisa jadi hal dalam untuk orang lain.

Keluasan
Saat lo bisa menangkap fenomena sosial yang nggak berhubungan langsung ke personal brand lo, tapi mengemasnya dengan perspektif keilmuan lo, maka ini memberikan sinyal : ilmu lo cukup luas karena keluasan lo dalam melihat suatu peristiwa.

Jadi, konsisten dalam menampilkan kedalaman dan keluasan.

Kalo nggak kepepet, hindari menampilkan hal-hal remeh temeh seperti aktivitas sehari-hari. Kecuali hal-hal remeh temeh itu bisa menyiratkan kepribadian yang lo mau tonjolkan di personal brand lo.

Tapi sebaiknya, kepribadian lo ditonjolkan melalui konten lo yang memiliki kedalaman dan keluasan itu.

3. Loyalis Pertama
Setelah dipersepsikan berkualitas, lo butuh loyalis pertama. Loyalis adalah orang yang hadir mendukung personal brand yang sedang lo bangun. Orang-orang ini yang bahkan bisa membela lo saat lo nggak tau.
Di akun ini, gue pakai cara paling primitif tapi paling efektif untuk mendapatkan loyalis. Yaitu dengan memberikan lebih dari apa yang diekspektasikan orang.
Caranya, saat terjadi interaksi dimana pun itu, baik interaksi langsung (misal di sebuah acara) atau online, pahami lah bahwa orang-orang yang berinteraksi ini memiliki ekspektasi.

Ekspektasi adalah apa yang orang yakin akan dia dapatkan dan biasanya berhubungan dengan pengalaman sebelumnya.

Misal, ada yang bertanya ke gue, maka gue prediksi dia punya ekspektasi kalo gue akan menjawab dengan singkat atau bahkan nggak menjawab. Gue bisa memprediksi ini karena itu lah umumnya yang mereka dapatkan di akun personal brand lain dengan topik yang seperti gue.

Tugas gue adalah memberikan lebih dari apa yang dia ekspektasikan.

Jadi gue memberi jawaban yang lebih niat dengan berusaha menyajikan wawasan atau perspektif baru. Kalau gue sedang nggak bisa memberikan itu, gue akan selalu berusaha ngobrol dan memberikan masukan positif seperti menyemangati, atau sekedar ngobrol seru.

Terkesan dibuat-buat? Mungkin... buat yang nggak paham. Kalo lo tau ini memang caranya membangun loyalis, maka lo akan melakukan dengan sepenuh hati.

Banyaknya orang yang nggak melakukan ini atau merasa terpaksa karena mereka nggak sadar ini penting. Karena gue sadar, makanya semua gue lakukan tanpa beban.

Ini cara paling efektif meskipun primitif, yang gue lakukan untuk mendapat loyalis.

Jika orang yang bangun personal brand dan nggak melakukan cara primitif seperti gue, biasanya mereka akan membangun loyalitas dengan cara lain.

Misal dengan melalui testimoni dari orang-orang yang sukses,populer, atau selebritis. Bisa juga dengan storytelling yang bisa menimbulkan simpati atau keberpihakan.

Gue sengaja nggak melakukan itu. Sungguh, bukan nggak bisa. Memang sengaja untuk jadi contoh karena feeling gue kemungkinan gue akan mengajarkan personal brand. Bener, kan? Gue akhirnya buat tulisan ini.

Jadi gue mau memberi contoh nyata untuk yang mau membangun personal brand supaya bisa membangun loyalis dengan cara seperti ini. Menurut gue ini asik dan lebih hemat!

Jangan tanya apakah efektif. Bahkan saat gue sedang nggak posting apapun, buku gue tetap terjual secara organik tanpa iklan dan orang yang berkonsultasi berdatangan.

4. Monetize
Setelah memiliki loyalis, lo boleh mulai memikirkan bagaimana mendapat pemasukan dari personal brand yang lo miliki.

Ada yang memikirkan sejak awal, dan itu nggak apa. Tapi biasanya, setelah fokus membangun loyalis, produk dan layanannya jadi ada penyesuaian.

Ini akibat sambil lo bangun loyalis tadi, lo juga akhirnya jadi lebih paham mereka seperti apa. Dan ini bikin lo jadi tau, harus memberikan produk dan layanan seperti apa.

Saat personal brand mulai terbangun, semua pintu kesempatan untuk mendapatkan penghasilan jadi terbuka.

Tapi... lo nggak perlu buka semua pintu serempak. Buka pintu yang paling cocok dulu sama ritme hidup lo... atau kemampuan lo saat ini.


Perbedaan Personal Brand dengan Brand pada Umumnya

1. Diri Sendiri baru Market
Banyak yang bangun personal brand mulai dari memikirkan marketnya dulu, baru dipikirkan personal brand seperti apa untuk menarik market itu.

Hm... bukannya mau menyalahkan, tapi kalo lo seperti ini dan akhirnya merasa kesulitan, maka nggak heran, Karena justru itu bedanya personal brand dengan brand biasa.

Personal brand itu melihat ke dalam diri kita dulu baru setelah paham kita melihat ke market. Jadi setelah kita paham diri kita lalu membangun reputasi, baru lah kita coba memahami kebutuhan market : mempertemukan apa yang mereka butuhkan dengan apa keahlian yang kita miliki.

2. Nggak wajib pembeda tapi wajib otentik
Pembeda seperti positioning dan diferensiasi hukumnya nggak wajib kalo di personal brand. Beda dengan brand produk. Kenapa?

Ya... karena pembedanya sudah dikasih langsung sama Tuhan. Yaitu diri lo sendiri.

Yang lo butuhkan adalah identitas yang mau lo bangun reputasinya. Lo mau dikenal sebagi apa? Jadi ada yang bahas topik sama pun, nggak masalah. Karena pembedanya dari lo sebagai sosok manusia.

Makanya kenapa sering dibilang personal brand harus otentik. Karena kalo nggak otentik, baru deh, itu bikin lo jadi nggak menarik. Karena nggak ada pembeda.

Biarkan pembeda alami lo keluar. Jadilah diri sendiri dalam arti positif. Yang bagian buruk di diri lo, ya, nggak usah dikasih liat. Kuatkan kepribadian lo dalam personal brand.

Tapi, kalo dari personal brand itu lo mau buat brand lain. Misal gue jadi mau buat brand layanan konsultasi namanya KonsultasiKuy maka brand itu butuh positioning dan diferensiasi walaupun banyak orang yang tau itu punya gue.

Jadi personal brand itu nggak butuh jargon, tagline, kata-kata yang unik. Nggak butuh.

Kecuali lo lagi nyaleg.

3. Tampil sebagai sosok manusia berkepribadian
Banyak yang nanya, bisa nggak kalau personal brand tanpa kelihatan wajah.

Sebenarnya, yang mau dikeluarkan sebagai pembeda adalah kepribadiannya. Jadi kalau lo nggak mau keliatan sama sekali pun wujud fisiknya, asal lo bisa menunjukkan kepribadian lo, misal, melalui tulisan. Maka sebenarnya bisa-bisa aja.

4. Menjadi Public Figure
Saat lo membangun personal brand dan ternyata semakin banyak orang yang kenal sama lo. Anggaplah 80% orang yang melihat lo di tempat umum sudah kenal lo, maka selamat! Status lo naik jadi Public Figure atau Tokoh Masyarakat. Cie... seneng nih.....

Kalo posisinya sudah seperti ini, sebenarnya lo nggak perlu melakukan arahan gue tadi lagi. Kan, udah public figure. Udah tokoh masyarakat.

Lo boleh posting yang remeh temeh nggak sesuai dengan personal brand lo, nggak apa. Soalnya, mayoritas orang udah paham lo siapa dan udah tau reputasi lo seperti apa.

Tapi ya, tetap diperhatikan juga. Nyantai itu bukan berarti nggak ada saringan sama sekali. Karena lo tetap harus menjaga reputasi lo kalo lo masih mau posisi sebagai tokoh masyarakat. Jadi kalo tadi membangun dan memperkuat reputasi, sekarang sebagai public figure tugas lo menjaga. Kalo masih terus mau memperkuat, jangan berhenti berkarya.

Gue doain lo jadi public figure, Amiiin! Gue seneng juga kalo lo jadi tokoh masyarakat. Bangga gue! Nggak kebayang ada orang yang baca tulisan ini, terinspirasi bangun personal brand dan jadi public figure. Terharu....

Tapi kalo udah ngetop, jangan lupa sama gue ya!





















Kalo lo suka tulisan ini, berarti lo bakal suka sama buku gue Brand dan Manusia

Social Media
Dilarang
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi konten yang ada di website ini tanpa izin tertulis dari Indah Jiwandono
dibuat denganberdu
@2024 indahjiwandono Inc.