Tone of Voice punya aneka definisi. Ada yang bilang ini tentang bagaimana brand menunjukkan kepribadiannya melalui suara. Ada yang bilang ini soal bagaimana brand berempati dengan marketnya. Ada yang bilang A sampai Z.
Dan, apa yang dibilang itu, bisa jadi bener semua! 😌
Nah, ketika menemukan definisi yang cenderung bener semua seperti ini, yang harus kita lakukan adalah memahami fungsi utamanya. Jadi definisi yang banyak itu, bisa jadi karena memang ada banyak fungsi dari tone of voice. Akhirnya masing-masing dari kita mengingat definisi berdasasrkan fungsi-fungsi yang banyak itu.
Kita fokus ke fungsi utama tone of voice.
Jadi fungsi utama tone of voice adalah membuat segmen market tertentu yang kita ajak berkomunikasi bisa paham dengan pesan kita dan bisa terpengaruh dengan pesan kita.
Dan sebenarnya, tone of voice ini kita lakukan di keseharian.
Contohnya, saat lo minta ambilin sesuatu. Misal minta ambilin minum karena lo mager lagi nonton Netflix. Lo mau minta ambilin minum ke siapa? Ke anak? Ke istri? Atau ke ART?
Ke siapa lo berkomunikasi akan mempengaruhi tone of voice.
Misal ke anak :
"Dek, anak pinter... tolong ambilkan Papa air putih di dispenser Dek.. Yang dingin. Makasih ya, dek..."
Atau ke istri
"Sayang... Ayang cantik deh... tolong ambilin minum dong... kaki aku kesemutan... nggak bisa jalan... hihi.. tolong ya istriku..."
Lalu ke Art
"Mbak, tolong ambilkan air putih Mbak. Makasih..."
Bisa dilihat, ada tiga tone of voice yang berbeda dengan satu tujuan yang sama : supaya diambilin minum. Perbedaan ini karena lo berbicara ke tiap orang yang berbeda.
Untuk kasus sehari-hari di dalam lingkup keluarga, biasanya kita nggak terlalu memperhatikan tone of voice karena dianggap seperti otomatis aja. Soalnya kita memang sudah tau dan kenal dengan siapa kita berbicara di lingkup keluarga.
Nah, brand kan, nggak ngomong sama keluarganya doang... (Lah, siapa keluarganya?)
Brand menyampaikan pesan ke marketnya. Dan marketnya itu bisa terdiri dari beberapa segmen market (kelompok market) yang menjadi audiensnya.
Itu sebabnya saat brand berkomunikasi maka dia harus tau, pesannya ini untuk segmen market yang mana?
Dan untuk bisa mengatur tone of voice nya, brand harus bisa memahami dulu segmen market yang mau diajak berkomunikasi. Segmen marketnya seperti apa?
Kalo nggak paham, akhirnya brand jadi nggak paham juga, bagaimana untuk mengemas pesan supaya segmen market itu bisa tergerak dan brand bisa mencapai tujuannya.
Tapi kalo sudah paham, maka brand jadi lebih mudah. Pemahaman dia tentang bagaimana tone of voice yang cocok untuk segmen market tertentu, kemudian dia tuliskan menjadi arahan-arahan rinci. Arahan ini bisa menjadi panduan tim untuk bisa menyamakan tone of voice ke segmen itu. Akhirnya brand bisa terlihat konsisten meskipun yang menangani komunikasinya adalah tim.
Lalu, apa bedanya dengan brand voice?
Beda. Brand Voice itu tentang karakter brand dalam berbicara yang disesuaikan dengan kepribadian yang brand miliki.
Misalnya, seorang bapak yang bijaksana, pasti punya karakter atau ke khasan dalam berbicara. Nah, itu lah brand voice.
Ini yang brand petakan. Berarti brand harus tau dulu personalitynya seperti apa. Kemudian dia catat brand voicenya seperti apa.
Jadi ini dilakukan sebelum menentukan tone of voice. Karena tone of voice, sebenarnya dipengaruhi oleh kepribadian.
Gue kasih contoh lain tentang bagaimana tone of voice dipengaruhi kepribadian. Masih dengan tujuan minta tolong ambil air minum. Tapi yang berbicara adalah bapak-bapak brengsek, suka KDRT, suka mabuk-mabukan, judi online dan punya hutang dimana-mana. Wkwkwk.. ini cuma contoh... jangan tersinggung dong.
Dengan kepribadian seperti itu, maka tone of voicenya bisa beda.
Ke anak :
"Heh! Ambilkan bapak mu minum! Orang tua bukannya diperhatikan, malah rebahan aja kerja kamu!"
Ke istri :
"Mana minumku? Ambilkan dong! Jadi istri nggak bisa melayani suami. Apa-apa harus diminta... kalo nggak dikasih uang belanja, nggak dilayani suaminya."
Ke ART :
"Ambilkan saya minum! Cepat!"
-
Ya... namanya suami brengsek. Lagian kan cuma contoh. 😆
Jadi itu perbedaannya antara brand voice dan tone of voice. Sehingga kalau kita buat brand voice, maka yang kita jelaskan adalah tentang kepribadian dan bagaimana kepribadian itu memengaruhi cara dia berkomunikasi. Misal suami brengsek tadi "brand voicenya" :
Sukanya nyuruh-nyuruh dengan nada bentak
Hanya memikirkan dirinya sehingga kalau ngomong nggak memikirkan perasaan orang lain.
Dan seterusnya...
Brand voicenya jadi seperti itu. Kalo ini beneran jadi brand voice, kacau banget. Untung cuma contoh.
Makanya khusus untuk brand, dia harus paham perihal kepribadian brand. Karena kalau brand, sebenarnya kepribadian yang dibuat bukan hanya harus baik tapi harus ada karakter yang bisa dipahami secara kolektif (kelompok masyarakat).
Karena brand kan, diperuntukkan untuk orang banyak.
Dengan paham ini, kepribadian yang kita buat di dalam brand bisa membuat kita memprediksi respon atau sikap dari audiens kita.
Iyaa... bisa begituu...
Jadi kalo lo selama ini buat kepribadian brand cuma ngambil dari kepribadian manusia yang lo suka, biasanya kurang bisa memberi respon tertentu. Kurang menimbulkan kesan secara kelompok karena nggak ada efek ketidaksadaran kolektif yang terjadi. Lo akhirnya sekedar jadi brand yang seperti manusia baik lagi nawarin produk aja. Gitu akhirnya kepribadiannya.
Kalo brand, harusnya bisa dieksplore lebih luas lagi dan bahkan menjadi strategi.
Buat lo yang penasaran caranya, hal ini juga gue jelaskan di buku gue brand dan manusia.