Brand Butuh Storytelling? Kata Siapa?

Gue perhatiin sekitar lima tahun terakhir, storytelling jadi perbincangan hangat di dunia pemasaran. Banyak yang menyakini storytelling ini cara yang ampuh dan efektif untuk menyentuh sisi emosi market sehingga bisa membentuk persepsi. Akhirnya jadi nyerempet juga ke brand. Jadi disebutkan bahwa brand membutuhkan storytelling.

Buat lo yang nggak tau, storytelling adalah cara berkomunikasi dengan cara bercerita.

Belum lagi banyak buku yang membahas soal ini, dan tentunya mulai banyak kelas-kelas yang bermunculan untuk mengajarkan perihal ini. Oh! Juga mulai menjadi identitas seseorang. Ini bisa dilihat dari banyaknya yang menulis storyteller di bio Instagramnya. Iya, ini artinya dia mau memperlihatkan identitas diri sebagai pencerita.

Apa betul, brand butuh storytelling?
Sebelum menjawab ini, pahami dulu bahwa dalam pemasaran, storytelling hanya salah satu dari teknik penulisan yang persuasif (copywriting). Dan dalam copywriting ada banyak sekali teknik penulisan.

Karena hanya salah satu teknik, mengatakan brand butuh storytelling dikhawatirkan kita mengesampingkan kebutuhan kita akan teknik penulisan persuasif lainnya. Jangan sampai kita berpikir "ah, storytellingnya sudah oke, tagline dan lainnya pasti ikutan oke meskipun nggak terlalu dipikirkan." Jangan seperti itu ya, berpikirnya.

Nah, sekarang pertanyaannya, memangnya apa sih, teknik storytelling yang membedakan dengan teknik penulisan lain?

Agar bisa bercerita maka dia punya teknik plot cerita, karakter, dan situasi. Jadi kalau kita mau bercerita atau storytelling, tiga hal ini yang paling kita perhatikan.

Kalau lo melihat ada orang yang bikin konten dengan menceritakan situasi, posisi dia di cerita itu, tanpa lo sadari, lo sudah membayangkan plot atau alur cerita. Nah, orang ini sedang melakukan teknik storytelling. Lo jadi berhenti dan menyimak, salah satunya karena mau melihat apakah plot yang lo duga itu benar. Sama seperti ketika lo melihat film. Dengan memahami situasi dan karakter di film itu, lo membayangkan plot ceritanya.

Ketika diluar "prediksi BMKG", biasanya lo merasa cerita itu jadi menarik.... atau, ketika plot dugaan lo terbukti benar, lo mungkin akan berempati (ikut merasakan) dan bersimpati (berpihak) pada cerita itu. Lo juga bisa menentang, karena lo merasa nggak setuju. Tapi lo bisa nggak setuju, berarti karena lo punya gambaran bagaimana semestinya.

Itu sebab, storytelling popularitasnya naik, karena kemampuannya menyentuh sisi emosi. Kalo nggak ketebak, ceritanya menarik. Kalo ketebak, lo bisa berempati dan bersimpati. Bahkan nggak setuju. Jadi semua kemungkinan bisa menekan tombol emosi kita. Akhirnya jadi memasarkan emosi.

Brand Butuh Storytelling
Brand butuh storytelling, jika ingin menggunakan ini sebagai alat untuk menyentuh sisi emosi khalayak atau market. Kalo nggak? Ya, nggak usah.

Berarti, kita tanyakan lagi. Kapan brand butuh menyentuh sisi emosi khalayak (audiens)?

Mungkin lo akan menjawab lantang "Saat memasarkan produknya!"

Terus kapan lagi?

Nah, kalau lo nggak bisa jawab. Gue bisa menduga bahwa lo nggak membuat strategi brand sama sekali. Karena sebelum memasarkan produk, menceritakan visi misi brand merupakan waktu yang tepat untuk menggunakan teknik storytelling.

Kenapa?

Ya, karena visi misi brand biasanya hal yang paling membosankan untuk dibaca. Dengan teknik storytelling, lo bisa mengubah visi misi brand menjadi brandstory yang menarik.

Masalahnya.... Yaa ampun... masalah lagi.

Membuat brand story nggak semudah bikin storytelling yang umum lo temuin di TikTok.
Inget kan, tadi gue bilang : storytelling itu butuh karakter. Nah, karakter ini datangnya dari kepribadian. Karena kepribadian dari karakter ini yang bisa membuat orang 'menebak' plot cerita sehingga dia menyimak cerita yang lo sajikan. Jadi kalo brand lo belum punya kepribadian karena kepribadian brand itu dirancangakhirnya, efek ceritanya jadi kurang.

Berarti kalau mau buat yang disebut brandstory, lo harus paham dulu identitas brand lo apa, sehingga visi misi lo jelas. Ini yang membuat lo sebagai brand terlihat berpihak pada segmen market dengan karakter tertentu. Kemudian kepribadian brand lo seperti apa? Lo tentukan dulu. Baru lo ceritakan itu semua dalam cerita yang menarik yang disebut brandstory.

Begitu loh...

Yah... kalo begitu syaratnya jadi males, ya?

Berarti harus mikirin banyak hal dulu sebelum bisa buat brand yang bercerita?

Jangan males dong... karena nggak sesusah itu, kok!

Gue ajarkan caranya di buku gue brand dan manusia. Jadi sebelum urusan teknis, sebaiknya lo kuatin dulu strategi brand lo.

Buku ini juga gue buat dengan teknik storytelling atau bercerita. Jadi gue kemas dalam sebuah kisah fiksi yang semoga bisa membuat lo meneruskan membaca buku ini sampai habis. Nggak kayak buku-buku lain, yang lo beli terus nggak lo baca-baca lagi.

Penasaran? Klik aja, link di bawah ini. Nanti gue jelasin, apa aja isi bukunya.
Social Media
Dilarang
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi konten yang ada di website ini tanpa izin tertulis dari Indah Jiwandono
dibuat denganberdu
@2024 indahjiwandono Inc.