Brand harus terlihat valid—artinya brand diakui kebenarannya, dapat dipercaya, dan diterima oleh audiens.
Coba bayangin komentar begini dari audiens:
“Valid nih, si brand ini… bisa dipercaya.”
Adem banget hati rasanya. Seneng jadinya... ☺️
Dan kita juga tau, kepercayaan seperti ini penting untuk keberlangsungan hidup brand kita.
Karena tanpa validasi dari pasar, brand sulit bertahan.
Susah nggak?
Sejujurnya, iya. Membangun kepercayaan dan bisa dianggap valid, butuh usaha konsisten, inovasi yang relevan, dan komunikasi yang autentik.
Nah... udah susah... eh tau-tau kita ada dikondisi yang lebih menyusahkan...
Yakni...
Munculnya istilah Haus Validasi.
Ini adalah label sosial yang diberikan ke seseorang saat terlihat terlalu berusaha mencari validasi.
Ah, tapi kan, itu ke orang. Bukan ke Brand.
Nah, itu masalahnya...
Brand itu rada mirip manusia 😅
Jadi kalo di manusia, orang yang terlihat haus validasi sikapnya misal ... sering pamer atau membagikan hal-hal secara berlebihan... kerasa banget supaya dapet pujian.
Sedangkan di brand...? banyak kan, brand yang kerasa banget nih... kayak pengen banget audiens itu ngelihat dia sebagai yang "terbaik"
Reaksi audiens? Bisa jadi mereka bergumam, “Ih, haus validasi banget, nih.” 😒
Brand dan Haus Validasi: Apa yang Salah?
Brand adalah entitas yang menyerupai manusia. Punya karakter, cerita, dan bahkan kepribadian. Apalagi personal brand—jelas itu manusia.
Karena itulah, kalau tidak hati-hati, brand juga bisa terlihat berusaha keras mendapatkan validasi. Ketika ini terjadi, persepsi terhadap brand bisa berubah menjadi negatif.
Dampak Buruk Haus Validasi pada Brand
Kehilangan Kepercayaan Konsumen
Konsumen bisa merasa brand terlalu “try hard” untuk terlihat baik, sehingga rasanya malah nggak asli.. nggak otentik.
Contoh: Kampanye yang berlebihan di media sosial, terlalu sering meminta ulasan positif, atau terus menerus mengklaim diri sebagai “nomor satu.”
Efek: Konsumen skeptis, dan hubungan emosional dengan brand terganggu.
Fokus yang Salah
Brand jadi lebih peduli dengan pengakuan eksternal (likes, awards, komentar positif) dibanding memberikan nilai nyata kepada pelanggan.
Efek: Produk atau layanan nggak lagi relevan, karena semua energi si brand itu hanya diarahkan untuk membangun citra yang semu.
Risiko Over-Promising
Dalam usaha untuk mendapat validasi, brand bisa tergoda membuat klaim yang susah buat dipenuhi.
Efek: Ketika janji itu nggak terpenuhi, pelanggan merasa dikecewakan, dan reputasi brand pun rusak.
Citra Brand Jadi Nggak Autentik
Ketika sebuah brand terlalu sibuk mencari validasi, audiens mungkin melihatnya sebagai entitas yang nggak jujur atau berlebihan.
Efek: Generasi muda seperti Gen Z, yang menghargai transparansi dan keaslian, bisa menjauh dari brand tersebut.
Mengalihkan Fokus dari Nilai Inti
Validasi yang obsesif bisa membuat brand kehilangan arah. Alih-alih berfokus pada visi dan misi awal, brand justru menjadi “pengikut” tren demi terlihat relevan.
Efek: Brand kehilangan identitasnya dan sulit menciptakan loyalitas pelanggan.
Bagaimana Menghindari Label Haus Validasi?
- Tetap Autentik Bangun komunikasi yang jujur dan transparan. Jangan terlalu sering memaksakan narasi “kami yang terbaik.” Biarkan pelanggan yang menilai.
- Fokus pada Nilai Inti Pastikan brand selalu berpegang pada misi dan visi awal, bahkan ketika tren berubah.
- Jaga Konsistensi Jangan terlalu sering mengubah identitas brand hanya demi menyesuaikan diri dengan apa yang dianggap populer. Konsistensi adalah kunci kepercayaan.
- Berikan Nilai Nyata Ketimbang mencari validasi eksternal, fokuslah pada bagaimana produk atau layanan bisa benar-benar membantu pelanggan.
- Jangan Berlebihan di Media Sosial Hindari postingan yang berlebihan, terlalu banyak mengulang pencapaian, atau meminta audiens memuji brand. (eh, nggak minta deng.. kadang bayar buzzer)
Kesimpulan
Menjadi brand yang valid adalah tujuan yang penting, tapi cara mendapatkannya juga harus hati-hati. Jangan sampai usaha validasi ini justru membuat brand terlihat haus validasi di mata audiens.
Ingat, kepercayaan dan pengakuan yang paling kuat datang dari pelanggan yang puas, bukan dari usaha berlebihan untuk terlihat sempurna.