Kenapa brand sering disebut sebagai aset?
Dan brand seperti apa yang bisa dibilang aset?
Hal ini penting untuk dipahami, karena punya brand nggak otomatis brandnya jadi aset.
Jadi… perhatikan baik-baik.
Udah tau pengertian aset? Aset adalah sumber daya milik kita yang bisa memberikan pertambahan nilai ekonomi di masa mendatang. Sumber daya ini bisa berwujud (materiil) atau tak berwujud (immateriil).
Nah, brand adalah aset immateril atau tak berwujud.
Karena idealnya brand yang sudah berjalan, memiliki reputasi dan pelanggan loyal. Jadi dua ini penyebabnya.
Reputasi yang dimiliki membuat brand mudah untuk mengembangkan lagi bisnisnya (sesuai dengan reputasinya).
Ini membuat brand bisa lebih mudah mendapatkan pelanggan baru di kemudian hari karena reputasi yang sudah dia bangun.
Pelanggan loyal atau loyalis, membuat brand bisa menjadi aset karena mereka yang loyal akan melakukan pembelian berulang di kemudian hari. Bahkan, mereka akan merekomendasikan orang-orang ke brand kita. Loyalis biasanya memiliki customer lifetime value yang tinggi juga.
Customer Lifetime Value adalah seberapa banyak si customer itu bertransaksi ke brand kita dalam seumur hidupnya.
Jadi brand yang membangun reputasi dan memiliki pelanggan loyal membuat brand bernilai sebagai aset.
Itu sebabnya, ngomongin soal membangun, menjaga dan menguatkan reputasi menjadi topik penting di brand. Begitu pun ngomonging pelanggan loyal atau setia.
Namanya baru belajar, bagi beberapa ngomongin soal reputasi terasa ngawang-ngawang.
Sebenarnya ini karena di brand, reputasi menyangkut banyak hal bukan cuma satu perkara.
Dari produk misalnya. Kualitas produk, konsep dan komunikasi, ini semua menjadi poin yang bisa dinilai sebagai reputasi.
Dari layanan, pengalaman orang saat berinteraksi dengan brand, juga bagian dari reputasi.
Baru kita masuk ke hal yang lebih dalam lagi…
Identitas brand, merupakan bagian dari reputasi. Kepribadian brand, juga reputasi. Budaya yang ada di brand, tentu itu juga bagian dari reputasi.
Dan semua itu disajikan melalui strategi komunikasi, jadi bagaimana brand mengemas pesan juga menjadi bagian dari reputasi.
Kalau disebutkan semua, bagian tengah kepala jadi rada cenat cenut.
Justru itu sebabnya brand bisa jadi aset.
Pelanggan Setia – Loyalis
Nah, ini yang gue agak takjub melihat kenyataan di lapangan.
Jadi gue lihat, banyak brand yang nggak memperdulikan bagaimana dia bisa membangun loyalitas pelanggan.
Yang dia pikirkan hanya : bagaimana saya menjual sebanyak-banyaknya sampai saya kaya raya.
Tapi kalau mau dianggap sebagai aset, maka brand harus punya pelanggan yang statusnya sebagai loyalis.
Tanpa ini, maka brand itu nggak bisa disebut sebagai aset. Karena kalau hanya tentang penjualan di saat ini, maka brand lo hanya kendaraan dalam mencari uang sebanyak-banyaknya di saat ini.
Di masa depan gimana? Bisa jadi lo tetap harus bersusah payah dalam menjual dan meyakinkan orang membeli (soalnya nggak ada satu pun orang yang setia sama brand lo)
Selama ini yang beli produk lo alasannya karena lagi butuh produk sejenis itu atau lagi ada diskon.
Untuk brand yang sudah punya loyalis, dia juga harus sadar kalau semua loyalis itu pada dasarnya selalu tergoda untuk “selingkuh”.
Iya. Selingkuh dengan brand lain.
Saat brand diselingkuhin, maka ini lah saat menguji kekuatan reputasi brand.
Kalau dia balik lagi, berarti memang reputasi yang kita bangun di brand kita, cukup kuat.
Biasanya lo kepo sama selingkuhan barunya.
Ya, boleh lah… kepo-kepo dikit, tapi jangan jadi freak juga. Jangan malah jadi banting-banting harga.
Frustasi banget itu namanya.
Jadi kalo nggak balik lagi, kesimpulannya : reputasi brand lo memang kurang kuat. Kuatkan lagi, kemungkinan dia akan kembali.
Gue juga sering kok, diselingkuhin.
Brand gue maksudnya. 😅
Kalo suami gue? waduh, nggak tau, deh ya… Akhir-akhir ini sih, suka izin ke Alfa tapi lama banget.
Yang selingkuh dari brand gue dan balik lagi, sering mengakui dan menceritakan kronologis perselingkuhannya. Hal yang nggak mungkin terjadi di perselingkuhan manusia.
Mengukur Banyaknya Loyalis
Kalau mau ngukur berapa banyak loyalis brand, sebenernya nggak susah.
Coba stop semua push marketing yang lo lakukan. Push marketing itu seperti iklan, pakai KOL, influenser. Semua yang sistemnya lo nyodorin brand lo ke muka market lo. Nah, lo matiin deh, tuh. Jadi lo matiin dan perhatikan dalam sebulan.
Yang masih beli, itu lah loyalis brand lo. Karena mereka datang akibat efek pull marketing. Pull marketing adalah... ya strategi brand yang lo buat ini. Yang bikin mereka jadi inget brand lo setelah kenal dan akhirnya selalu inget untuk balik.
Nggak susah, sih....matiin semua push marketing. Tapi nggak semua berani. wkwkwk..
Minimal gue kasih tau caranya biar lo tau seberapa banyak loyalis brand lo.
Gue juga pernah soalnya matiin push marketing ini. Beberapa kali malah.
Bukan karena niat. Itu mah, karena akun iklan gue ke banned. Wkwkwkw..
Ada dong ada loyalisnya... 🤓 Mayan banyak lah, itungannya. Kalo nggak, gaswat dong! lama banget itu ke banned. Sebenernya pas awal banget bangun brand, di satu sampai dua tahun pertama, gue juga nggak banyak pakai push marketing. (Duitnyaa manee??? bokek banget gue) Tapi oke kok, penjualannya. Lumayan buat modal nikah dan berumah tangga. 😅