Nilai dan Asosiasi


Kita semua tau, brand haruslah memberi nilai lebih. Nilai lebih yang kita bahas kali ini bukan nilai yang bisa dilihat, melainkan yang dirasakan (intangible)

Berarti kali ini kita berbicara tentang emotional valuie.

Tanpa emotional value β€” dan kekerasan kepala kita untuk hanya berbicara tentang produk β€” maka ketika muncul kompetitor yang mengeluarkan spec produk sama, terjadilah perang-perangan harga.

Ndah, bagaimana jika produk kita sudah brand leader? Atau produk yang pertama kali ditemukan...apa nggak mending promoin produknya aja?

Benar. Tapi dalam perjalanan brand-brand leader, mereka juga memasukkan emotional value ke dalam brandnya.

Coca-cola yang awalnya tampil sebagai pioneer minuman berkarbonasi dengan rasa COLA. Pada awal kemunculannya memang fokus pada hal ini.

Seiring waktu berjalan dan kompetisi makin meluas, maka dia mulai memasukkan nilai-nilai emotional value, seperti : Real thing.

Hal ini bisa lo cek sendiri, bagaimana mereka beriklan dari sejak awal kemunculan, sampai sekarang.

Sampai kemudian dia melakukan diferensiasi brand seperti Sprite, Fanta.

Lalu bagaimana kita menanamkan nilai brand pada costumer.

Ini yang jadi pertanyaannya.

Bagaimana mentransfer emotional value di benak orang pada brand kita?


Dari sekian banyak cara, gue kemudian menemukan cara paling relevan, yaitu asosiasi.
Nah.. dibagian ini banyak yang bilang ini kegiatan brand activation.

Tapi gue kurang sreg make istilah brand activation..karena brand activation adalah kegiatannya. Tapi alat yang kita pakai ya pola pikir asosiasi...


Jadi ini supaya simpel aja...



Asosiasi

Asosiasi adalah satu gagasan yang memunculkan gagasan lain.

Otak kita sudah merekam banyak asosiasi untuk berbagai hal.

Misal...

Ketika lo ingin dianggap sukses, maka wajar lo pergi dengan kendaraan mewah, memakai jam mahal, memakai baju branded.

Jadi tanpa lo harus mengatakan hei...gue orang sukses loh... Maka orang bisa mengambil kesimpulan bahwa Wah.. dia udah sukses sekarang.

Mungkin lo akan mengelak...

nggak kok ndah.. gue nggak gitu orangnya... gue paham, bisa aja orang itu nggak sukses kok...

Yang bener nih...πŸ˜€-

Bayangin ada seorang pria dengan berkendara Mercedesbens... mampir ke rumah lo.

Lalu dia ngetok pintu rumah lo,

dan bilang...

"bro... boleh minta nasi sepiring nggak...gue laper, belum makan dari pagi..."

Pasti lo langsung auto bingung....

Karena bagi lo β€” dan kebanyakan orangβ€” mereka yang punya mobil mewah pastilah mapan.

Itu lah asosiasi.


Hal yang lo lihat dan memunculkan gagasan tertentu.


Padahal kejadian setipe cerita diatas itu, sungguh pernah gue alami. Seorang yang terlihat mapan, pernah benar-benar minta pertolongan gue untuk hal yang menurut gue sepele. J


Jadi... untuk konteks branding... kita harus tau apa nilai yang mau kita angkat dan apa asosiasi terhadap nilai itu.

Biar nggak bingung, maka ikuti dulu petunjuk berikut :

Buatlah dulu ringkasan nilai emotional ( emotional value) yang lo inginkan.

Apakah nilai itu tentang...

  • Rasa percaya diri
  • Rasa bangga bertanah air
  • Rasa bangga pada pencapaian
  • Rasa bangga beragama
  • Rasa bangga sebagai wanita mandiri
  • Rasa bangga akan kecantikan
  • Rasa menemukan jati diri
  • Rasa kebersamaan

...dan masih banyaaak lagi.


Pahami nilai yang ingin lo pilih untuk brand lo.

Rangkailah dengan kata yang singkat agar lo bisa kemudian mencari asosiasinya.


Petakan Asosiasi
Setelah menentukan emotional value, maka lo bisa membedah apa saja asosiasi yang mampu menghubungkan brand lo dengan nilai yang lo inginkan.

Misal...

Untuk brand gue, Cool sugar wax, nilai yang gue ambil adalah rasa percaya kemampuan diri sendiri.

Lihat kan? yang gue ambil bukanlah tentang

"waxing terpraktis..."


Nilai emotional rasa percaya pada kemampuan diri, yang gue ambil menjadikan costumer gue sebagai acuannya.


Menjadikan costumer gue sebagai pusatnya. Istilah kerennya Costumercentris.

Sedangkan waxing terpraktis... ckckck... sebagai brand, terdengar narsis dan telak productcentris bingit ih!

Jadi ini juga yang harus diperhatikan.
Angkatlah emotional value dengan perasaan costumer lo sebagai perhatiannya. Bukan produk lo.


Nah...
Dari nilai ini, gue pun mengexplorasi asosiasinya.

Asosiasinya
- personal
- kemampuan pemakaian sendiri

Kemudian dari 2 asosiasi itu, kita cari lagi asosiasinya

Personal
- di rumah
- karya tangan
- keterbukaan
- apa adanya

Kemampuan diri sendiri
- pemakaian sendiri
- keaslian hasil gagal/berhasil
- Saling menguatkan


Eksekusi Asosiasi

Eksekusi disini artinya tindakan.

Kalo eksekusinya bener, maka seharusnya asosiasi yang muncul di benak market, sesuai dengan nilai yang gue inginkan.

: rasa percaya terhadap kemampuan diri sendiri.

Lalu di bagian mana aja gue bisa eksekusi asosiasi ini.


Berikut gue ceritakan pola pikir gue biar lo paham.

Kali ini gue mengambil contoh brand gue, untuk menceritakan secara detail kerangka berfikir.


Gue bukan desainer. Kemampuan gue ngedesain itu otodidak. Cuma gue tau sih, taste gue bagus. Nilai seni rupa gue dari dulu selalu tinggi soalnya.

note : lo nggak perlu senekat gue. Silahkan pakai jasa desainer ya.

Meskipun amatir, tapi gue tau, desain harus punya filosofi.

Desain logo gue simpel aja... tulisan Cool Sugar Wax dengan element desain seperti lingkaran kuning dibelah.

Tapi sebenarnya makna kuning yang terbelah itu filosofinya dari ingredient gue yaitu lemon, yang kebelah dua..

Kemudian sekilas berbentuk matahari. Karena gue mau ini ceria.

Apa desain logo ini punya value brand diatas?
hm.. sayangnya enggak. Cuma ada filosofi dikit.

Tapi... Minimal gue punya filosofi kan...
*kibasponi.


Font logo
Font logo gue B aja ya.. alias biasa aja.
Karena yang penting bagi gue adalah terbaca dari jarak deket maupun jauh...

... dan karena gue bukan desainer, gue ambil font yang aman-aman aja.


Font dan asosiasi

Ingat, font itu punya asosiasi. Kalo value brand lo kecantikan... font tipis itu lebih cocok, karena asoasi dengan kurus. Dan sampai saat ini, asosiasi kita kurus itu cantik masih sangat kuat.

Kalo lo brand valuenya menggemukkan badan, maka font besar dengan sudut tegas memiliki asosiasi.


Kalo brand valuenya kecepatan, font miring memiliki asosiasi kecepatan.

Lalu apa yang asosiasinya personal?
Untuk value personal, maka font handwriting memiliki asosiasi personal.

Maka font handwriting untuk tagline, etiket dan lainnya, kemudian gue persiapkan.


Etiket produk.


Banyak yang nyepelein etiket produk.

Biasanya cuma jelasin secara umum, produk ini apa.

Misal waxing. Maka etiketnya : Waxing pencabut bulu.

Ya.. etiket emang itu sih fungsinya....


TAPI TUNGGU DULU...

Nggak ada juga yang maksa gue pake etiket seboring itu.

Maka gue langsung ambil kesempatan ini untuk membuat etiket yang mengandung asosiasi.

: YOUR PERSONAL WAXING KIT.

Kata your personal sudah menjadi langkah awal untuk gue menyalakan tombol asosiasi di benak market.

Memang terdengar sepele

Tapi sudah masuk ribuan testimoni dan diposting di sosmed, yang menyebut istilah "personal waxing".

Kemungkinan temannya yang baca juga jadi ngeh istilah personal waxing. Kemudian mereka googling personal waxing. Eh muncul deh brand gue di jajaran atas pencarian.


Senangnya....

πŸ˜„-


Tagline yang greget


Waxing di rumah, serasa di salon.

Dengan tagline ini gue mampu memposisikan diri sebagai brand spesialis waxing di rumah.


Dan... kalo lo cari waxing di rumah. Yang muncul review youtube tentang produk gue.

FYI : volume keyword pencarian waxing di rumah cukup besar.


Bahkan untuk menambahkan kesan personal, gue menggambar sendiri dengan cat air kemasan box gue.

Gue juga membuat story di box gue yang bercerita

... ini bukan tentang waxing. Ini tentang percaya pada kemampuan diri sendiri. Rasa bahagia ketika kita tau mampu melakukan hal yang sebelumnya kita anggap tidak mungkin.

poinnya :
Gue akan mengisi tiap ruang yang tersedia dengan asosiasi value brand gue.

Terlebih di kemasan. Suatu tempat dimana produk gue dipajang di rumah mereka dan dipandang tanpa mereka sadari.


Visual Keseluruhan

Gue pun membuat mandatory atau arahan untuk visual.

Sederhana sih...

Visual gue seputar tentang waxing sendiri.

Kadang dengan sedikit story supaya orang nggak bosen liat kegiatan waxing.

Gue pun sedang berencana bekerja sama dengan agency untuk menggunakan model.

Sejak kemarin, hal ini masih maju mundur gue lakukan. Gue masih pakai adik gue Anggun sebagai model.

Karena gue mau menekankan Value brand gue dengan kegiatan waxing yang real. Sedangkan nyari model yang real berbulu ternyata nggak gampang.

Gue nggak mau hanya model terpampang dengan wajah cantik.

Syukurnya mulai ada pencerahan tentang story yang bisa gue angkat dan memiliki asosiasi dengan value brand gue.


Nanti kalo udah selesai eksekusi gue share.



Balik lagi ke lo...

Jadi visual itu adalah moment of truth... Apakah lo bisa menunjukkan value brand lo tanpa banyak mengatakan.

"Show... don't tell"
adalah istilah yang familiar di orang periklanan.

Untuk mempersuasi orang ke brand lo. Yang lo lakukan bukanlah dengan mengatakan...

...tapi menunjukkannya.

Misal gini, lo mau orang berfikir brand lo eklusif? Tapi visual lo B ajah...

Foto ala adarnya... konsep ala kadarnya...

Ya susah..

Itu namanya lo "Tell... not show.."

alias lo ngemeng, tapi nggak nunjukin.


Visual itu bicara lebih banyak. Jadi pastiin visual lo punya asosiasi yang sesuai dengan nilai brand.



berikut saran untuk advance...



Artis memiliki asosiasi


Agency model banyak menyediakan model lebih cantik dari artis, tapi kenapa artis lebih mahal?

Itu karena artis memiliki personality yang menimbulkan asosiasi.

Artis nggak hanya dikenal glamour. Mereka juga punya personality yang unik.

Ada artis yang peduli pada kesehatan, lingkungan, parenting.

Ada artis yang kontroversial.

Ada yang cantiknya alami...

Ada yang cantiknya oplas sana sini.


Jadi, artis tersedia dengan berbagai pilihan asosiasi.

Brand yang baik, akan memilih artis yang sesuai dengan asosiasi value brandnya.

Bukan hanya memikirkan follower atau pamor artis tersebut.

...Ingatan gue flashback ke jaman gue masih unyu, kuliah di Sudirman.

Tahun 2010...

Luna Maya sedang ngetop-ngetopnya. Karena cantik dan wajahnya ada dimana-mana.

Itulah kenapa sabun LUX menjadikan Luna sebagai Brand Ambassador, dan juga Ariel yang saat itu pacar Luna.

Kasus video asusila mereka pun naik, dan jadi pemberitaan.

Baru saja 2 hari billboard mereka yang super besar terpajang di Senayan... kemudian di copot.



Ini dilakukan, karena LUX paham betul, asosiasi yang akan nempel di brandnya jika dia maksa pakai LUNA.

Ya.. segitunya.

LUX punya value brand cantik yang elegan.

Sedih memang, tapi ketika imej Luna saat itu berubah karena kasus video, Lux mau nggak mau harus mengambil langkah yang menjaga brandnya.


Sekarang...


...muncul juga influencer atau selebgram. Nah yang harus lo perhatikan jika ingin mengendorse mereka, adalah personalitynya.

Karena personality memunculkan asosiasi yang akan menempel pada brand lo!

Perhatikan, apakah personality yang mereka miliki cocok dengan value brand lo.

Pilihlah yang cocok... karena tujuan kita masuk ke persepsi orang dengan value yang sedemikian rupa kita rancang.



Desain memiliki asosiasi

Desain tentu menimbulkan asosiasi. Pasti itu.

Tanpa banyak berkata. Mata kita nggak akan bisa merasa sebuah brand ekslusif kalo desainnya tidak mencerminkan ekslusif.

Ini kenapa kita butuh bantuan desainer yang memiliki taste, bukan yang memiliki ijazah.

Gue cukup banyak bertemu desainer yang kurang tastenya.

Tapi ketimbang jadi klien yang bisanya cuma komplain, gue memilih menjadi klien yang menjelaskan dengan seksama mood apa yang ingin gue tampilkan.

Gue nggak sungkan membuat moodboard desain. Dan mungkin lo juga harus mencobanya jika harus menggunakan jasa desainer.

Moodboard membuat desainer lebih paham apa yang lo inginkan.

Dan moodboard ini bisa lo kumpulkan dan share dari pinterest.

Bukan hanya desain, visual pun butuh asosiasi.
Baik visual itu foto atau video. Dengan cara yang sama, lo bisa memberikan arahan moodboard yang lo inginkan.

Berdiskusi dengan tim kreatif secara detail. Agar hasil yang mereka hasilkan sesuai dengan yang lo inginkan.

Karena kasian kalo mereka harus terus-terusan revisi.


Tulisan dan Suara memiliki Asosiasi

Perancangan bagaimana brand lo bersuara biasa disebut tone of voice.

Bagaimana brand lo berbicara pada audience haruslah memegang value brand yang sudah lo tetapkan.

Topik pembicaraan pun yang kemudian lo buat sebagai konten, harus memiliki tujuan menguatkan value yang sudah lo pilih. Ingat terus value yang mau lo angkat. Ingat... ingat... ingat....

Tulisan itu adalah segala yang tertulis dalam tagline, caption, website, deskripsi.

Suara bukan hanya voice over yang ada di iklan, melainkan bagaimana lo berinteraksi dengan audience.

Apakah gaya penyampaian yang sesuai value lo adalah casual, atau formal. Ini harus diperhatikan.


Jika keseluruhan diatas lo rancang dengan seksama, dan lo jalankan...

... pada waktu brand lo berinteraksi dengan audience, perlahan persepsi mulai terbentuk di benak mereka.


Selain yang gue tuliskan ini, bisa gue nyatakan dengan rasa percaya diri: lo tidak butuh lebih dari ini.

Tuangkan waktu lo untuk memahami apa asosiasi dari value brand lo.

Sederhana tapi ini dalam. Karena asosiasi bisa dipastikan sangat luas.

Semakin dalam lo mengeksplore, disitulah lo akan menemukan kerangka kuat untuk brand lo.

Kenapa gue mengatakan lo tidak butuh lebih dari ini...

Karena gue perhatikan banyak yang malah jadi "ngafalin" istilah branding yang macem-macem.

Bukan gue nggak paham istilah macem-macem itu.

Seperti lo tau, gue kuliah periklanan. Gue sudah melewati fase mencocokkan antara teori dan praktek. Istilah-istilah aneh a la anak periklanan adalah makanan sehari-hari gue ketika di kampus.


Dan lo nggak perlu makan makanan itu.


Makanlah makanan yang lo butuhkan, dan pastikan lo tau kemana harus membuang energinya.

































Social Media
Dilarang
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi konten yang ada di website ini tanpa izin tertulis dari Indah Jiwandono
dibuat denganberdu
@2024 indahjiwandono Inc.