Gue pernah menulis artikel cara memilih nama brand. Gue pun menjelaskan nama brand ada 4 jenis.
Jenis Deviant, untuk nama yang memiliki arti yang kita tau, tapi nggak ada hubungannya dengan produk/jasa yang ditawarkan.
Contoh: Apple untuk elektronik (komputer, hp, tablet, dst)
Jenis Neologistic, nama yang nggak ada arti nya dikamus, tapi kalo disandingin dengan produk/jasa yang ditawarkan, terdengar pas.
Contoh : Nestle, Pepsodent, Molto, Royco
Jenis Deskriptif, untuk nama yang menjelaskan sekali apa yang ditawarkan.
Contoh : Bebek Hj. Slamet, Aneka Sparepart.
Jenis Asosiatif, untuk nama yang memiliki asosiasi dengan produk/jasa yang ditawarkan
Contoh : Facebook, Traveloka.
Diantara keempat itu, yang kurang gue rekomendasi adalah deskriptif.
Karena ketika membuat citra brand, sebaiknya kita tidak menggunakan kata-kata gamblang. Agar ketika mereka mendengar nama itu, terjadi mental reaksi yang membuat orang memproses sejenak pesan yang dibuat. Sehingga ada AHA moment nya.
Nama deskriptif juga biasa disebut nama generic.
Contoh nama deskriptif biasanya cocok brand memiliki personal branding owner yang kuat. Misal Ayam Goreng Suharti.
Bagaimana membuat nama brand yang mudah diingat?
1. Membuat nama sependek mungkin.
Jangan mencontoh nama brand gue Cool Sugar Wax. Itu adalah nama yang gue pilih sebelum belajar tentang nama. Nama brand gue terlalu kepanjangan.
Sebisa mungkin nama yang lo pilih pendek, maksimal 4 suku kata.
Berdasarkan pengalaman yang gue rasakan langsung, nama kepanjangan membuat orang susah mengingat.
Beruntungnya istilah Sugar Wax kini semakin dikenal. Jadi untuk mengingat brand gue, orang hanya perlu mengingat kata Cool.
Tapi tidak semua akan seberuntung gue. Jadi baiknya panjang nama ini diperhatikan lagi.
Belajar pengalaman ini, brand kedua yang gue buat tersusun dari kata yang sangat pendek. PREV.
Dan untuk teman terdekat pun, gue selalu mengingatkan ini.
Pastikan nama brand yang lo pilih mudah untuk diucapkan.
Salah satu triknya adalah dengan melihat mekanisme kerja mulut.
Bandingkan dua nama ini :
Mana yang lebih mudah diucapkan?
Yup.. BULEKA lebih mudah diucapkan dibanding KULEBA.
Yup.. MENIKA lebih mudah diucapkan dibanding KENIMA.
Kedengerannya absurd ya.. tapi kemudahan pengucapan ini dipengaruhi oleh mekanisme mulut kita.
Kita lebih mudah menyebutkan BULEKA, karena membuat mekanisme mulut kita menutup ketika menyebut BU.. dan tidak tertutup lagi ketika menyebutkan bagian belakan LEKA.
MENIKA dan KENIMA juga contoh yang sama.
Kemudahan pengucapan seperti ini, terutama ketika nama brand yang lo pilih jenis Neologistic, harus dipertimbangkan.
Ketika lo menemukan kategori baru. Maka nama brand lo besar kemungkinan mampu menggantikan kategori.
Seperti brand Odol untuk pasta gigi. Di Indonesia bahkan orang menyebut Odol ketika membeli pasta gigi.
Odol sendiri adalah brand German yang berdiri sejak tahun 1892. Dan produknya justru setau gue nggak beredar di Indonesia. Di Indonesia yang terkenal malah merek Pepsodent.
Sama halnya seperti Aqua. Nama Aqua sangat cocok untuk menggantikan istilah kategori air mineral. Arti Aqua jelas merupakan air. Ini juga alasan Aqua memiliki nama lebih unggul dengan kompetitornya sehingga mudah diingat. Seandainya brand yang keluar pertama adalah Ades. Belum tentu kita bisa menggantikan istilah air mineral dengan Ades.
Brand yang sering disebutkan tanpa penjelas seperti Aqua dan Odol, umumnya adalah brand yang menang di persaingan.
Banyak orang yang berpusing mencari simbol untuk mereka.
Berharap simbolnya bisa seterkenal putri duyung Starbuck.
Menurut gue, Simbol tidak krusial untuk ada atau tidak dalam brand.
Fungsi utamanya adalah memudahkan menceritakan brand lo ketika orang kemungkinan lupa.
"Gue ke coffeeshop yang baru buka... namanya lupa.. tapi logonya gambar putri duyung..." Kata seorang pengunjung yang baru kenal Starbuck.
Banyak brand besar yang tidak menggunakan simbol, dan itu tidak jadi masalah.
Karena yang paling utama adalah nama brand yang terbaca
Itu kenapa lebih penting memperhatikan font yang lo pilih ketimbang Simbol.
Karena ketika lo memilih font yang sulit terbaca, maka sulit juga mengingat brand lo. Bahkan mustahil.
Menyesuaikan font dengan market
Ini sebenarnya urusan designer. Mereka paling tau font apa yang cocok untuk brand lo.
Tapi secara umum, bentuk font yang terasosiasi dengan produk/jasa yang kita tawarkan.
Untuk produk/jasa kecantikan, font yang dipakai cenderung tipis atau kurus.
Untuk produk/jasa yang menonjolkan maskulin, font tegas dan bold bisa sesuai.
Font ceria untuk market atau imej anak-anak.
Untuk produk Unisex, misal untuk makanan... maka font bisa diasosiasikan pada proses yang produksi atau pemakaian.
Contoh untuk makanan, lo akan merasa aneh ketika makanan yang dimasak dengan proses lama, menggunakan font minimalis.
Font dengan aksen justru malah terasa relevan,
Untuk gadget, yang membuat hidup lebih mudah atau simpel, font yang simpel akan terasa lebih relevan.